Cerita Sebelum Pandemi

on

3 Desember 2019

Selasa lalu aku hadir dalam acara wisuda temanku di daerah senayan. Disela menunggu temanku keluar dari gedung. Persis dihadapanku ada laki-laki berkacamata seraya senyum sumringah, rona wajah telihat jelas bahagia ketika yang dinanti mulai terlihat dari pintu keluar para wisudawan dan wisudawati, berlari kecil kearahnya dengan balasan peluk erat sembari berucap “selamat, hebat anak ayah” kemudian melepas pelukannya dan mundur perlahan membalikan badan, melepas kacamatanya dan menghapus air mata yang sudah tidak kuasa ditahannya sedaritadi.

Pertahanannya benar-benar runtuh, melihat putrinya menyelesaikan pendidikan sarjananya. Menyadari geraknya ku perhatikan, lelaki itu menoleh kearahku sembari tersenyum. Terkejut refleks aku menundukkan kepala yang tak sadar air mata sudah jatuh dan membasahi pipiku. Huuh.. Lemahnya aku.

Hai para Ayah, terimakasih untuk setiap perjuangan yang terkadang kami sebagai anak tak menyadari. Dan seringkali protes pada setiap larangan yang kau buat karena menurut kami itu tidak penting.
Terkhusus ayah-ku, terimakasih untuk pembelaan atas setiap pengaduan kecil yang kau terima. Dan ternyata aku masih belum sekuat yang kau mau sampai seringkali menangis untuk hal-hal kecil.

YaAllah sang pemilik takdir setiap makhluknya, terimakasih sudah menghadirkan sosok Ayah dalam hidupku. Karena mungkin, untuk sebagian yang lain melihat ayahnya saja tidak pernah.

YaAllah sang pemilik masa, terimakasih untuk waktu yang sudah kau cukupkan untuk aku bersama Ayah. Karena mungkin, saat ini ayah sudah sangat bahagia berada disisiMu.

Tinggalkan komentar